Pertanyaan
Semakin hari semakin menyebalkan rasanya dengan pertanyaan
orang-orang. Ada
begitu banyak cerita mengenai gue tapi pertanyaan yang selalu menjadi trending
topic saat ini adalah : "KAPAN NIKAH?". Nah,
terus kalo udah dapet jawabannya lalu apa? apa yang akan mereka
lakukan??????? meledek? nyariin jodoh? atau bersedia nyumbang dana di
pernikahan gue nantinya?
Dalam hidup ada yang
namanya privacy toh? Menurut gue privacy adalah suatu hal dari satu individu
atau sekelompok orang yang bersifat pribadi dan bukan untuk konsumsi publik.
Jadi, kenapa sih orang-orang bertanya tidak perlu menyinggung hal-hal yang
privacy gitu. Pernah gue denger dari guru gue, orang barat kalo bertanya
ke orang lain akan hindarin pertanyaan yang menyangkut privacy kek umur,
status, dan apa yang lagi dia lakuin. Yap! Itu adalah hal yang privacy
karena kamu tidak ada urusan dengan hal itu, kamu tidak berniat dan tidak bisa melakukan
apapun kecuali atas izin dari yang punya privacy. Tapi ini adalah Indonesia
yang sayangnya pertanyaan-pertanyaan semacam itu menjadi salah satu opsi ketika
sedang berbasa-basi. Indonesia memang sangat mengenal budaya basa-basi. Mungkin kalo relationnya udah deket banget
gitu ga apa kali ya, nah yang terjadi sama gue adalah mereka gak terlalu deket,
menurut gue, mereka bertanya hanya sekedar kepo aja gitu. Padahal masih
banyak pertanyaan lain tentang diri gue selain status gue kan?
Saking banyak dan
seringnya pertanyaan “KAPAN NIKAH?” gue sampe berpikir Emang jadi jomblo itu
dosa ya? emang jadi jomblo itu haram?? emang jadi jomblo itu salah? emang
jomblo = sampah masyarakat????? Pernah gak sih mereka berpikir orang
selalu punya alasan untuk membuat suatu komitmen/prinsip di hidupnya. Masuk
akal atau gak alasan itu, yang jalanin kan orang itu sendiri, selagi itu gak
merugikan orang lain... kenapa nggak? Mungkin orang itu ingin mengikuti
#teamtaaruf , mungkin orang itu punya trauma masa lalu, mungkin orang itu punya mimpi yang harus dicapai sebelum menikah, mungkin orang itu ada masalah lain yang apaka itu perlu di publikasikan? Terus ketika semua orang tau gue belum nikah dan
jomblo mereka mau apa? Cariin gue jodoh? Mungkin itu niat baik tapi kembali lagi ke pernyataan gue sebelumnya:
ALASAN. Jadi, please mulailah berhenti bertanya "kapan nikah?"
"mana pacar kamu?" apalagi kalo gak deket sama orang yang ditanya
itu. Hargai privacy orang lain mulai dari sekarang.
Pandangan
Oke, gue pribadi tentu punya pandangan sendiri dengan
yang namanya PERNIKAHAN. Pernikahan bukan satu hal yang mudah seperti
pengucapannya. Dari persiapannya, acara akadnya, dan kehidupan setelah menikah
perlu pemikiran dan persiapan mental yang matang. Pernikahan adalah 1 komitmen
yang harus dijaga seumur hidup, akan ada tugas tambahan yang wajib diemban sesuai kodrat
gue sebagai perempuan disamping tugas sebagai anak dan karyawan di
suatu instansi. Tugas tambahan ini adalah tugas yang sangat mulia. Gue akan
menjadi pendamping imam gue, melayani dia dan ketika lahir
seorang anak dari rahim gue, gue akan menjadi salah satu panutan untuk
anak itu, dan tentu saja harus merawatnya. Gue wajib memperhatikan imam dan anak gue dari
ujung rambut sampai ujung kaki. Tidak hanya memperhatikan fisik, tapi juga
mental. Terlihat sepele tapi itu tidak mudah. Tapi, semua tugas itu adalah pahala buat gue.
Pernikahan itu tidak menyatukan hanya 2 orang saja,
melainkan 2 keluarga. Pernikahan adalah penyatuan 2 keluarga yang berbeda. Keluarga
adalah suatu organisasi yang ikatannya kental dan kuat, hubungan diantara tiap
orangnya bukan lagi terikat dengan sekedar perjanjian, melainkan darah. Itulah mengapa dalam pernikahan tidak cukup
persetujuan dari 2 orang yang menikah saja. Semua orang dalam keluarga harus
menyetujuinya. Apalagi ayah dan ibu dari masing-masing mempelai. Dalam suatu
organisasi ketika merekrut orang baru atau ingin bekerja sama dengan organisasi
lain pasti sangat selektif dan hati-hati agar organisasi mereka tidak
berantakan.
Kesiapan
Ketika ada yang bertanya, “kamu sudah siap menikah?”
yang gue pikirkan adalah....
‘Oke, menikah.... gue akan menjadi seorang istri.
Setiap gue bangun di pagi hari akan ada suami di depan mata sebagai orang
yg pertama gue lihat, dan ketika akan tidur malam suami akan menjadi
orang yang terakhir gue lihat.
Di weekend, setiap jam yang gue liat adalah
suami gue. Setiap hari gue harus menyiapkan keperluan suami. Gue akan
menyiapkan bajunya untuk kerja, menyiapkan sarapannya, menyiapkan sepatunya.
Gue juga akan menyiapkan makan siangnya jika dia tidak mau jajan, dan menyiapkan makan malamnya pula. Gue akan membersihkan rumah, membereskan tempat
tidur, mencuci pakaiannya, menyapu, mengepel, menyetrika pakaiannya. Ketika
suami pulang, gue harus menyambutnya dengan senyum, melakukan apa saja agar
lelahnya hilang. Menjadi pendengarnnya dikala sedang ada masalah.
Ketika Allah
memberikan gue anak, ya gue harus mengandungnya 9 bulan, melahirkannya, menyusuinya, merawatnya, mengajarinya tentang kehidupan. Apakah
gue akan menghabiskan waktu hanya untuk mengurus keluarga? No! Gue juga
harus mengurus diri gue sendiri seperti perawatan kulit, sometimes rambut juga.
Gue harus tetap merawat tubuh sendiri. Gue juga harus bekerja, mencari uang sendiri.
Yap! Semua itu harus gue kerjakan. Apakah gue siap?? Okei, sepertinya gue siap karena cepat atau lambat gue pun harus ada di kondisi seperti itu kan? Dan di
umur gue sekarang, gue tidak menemukan alasan untuk bilang gak bisa. Mau
sekarang atau nanti, yang namanya perubahan status pasti akan ada masa-masa
beradaptasinya. Jadi apa bedanya? Apapun yang akan gue kerjakan ketika hati gue
happy pasti tidak akan terasa berat. Jadi, apakah gue siap? Yes, gue siap.
Lalu ketika ada yang bertanya lagi, “bagaimana dengan
ibu mertua?” yang gue pikirkan adalah....
‘Ibu mertua.... Sebelum memikirkan ibu mertua gue seperti
apa, gue akan membayangkan bagaimana gue ketika jadi mertua dan anak gue
laki-laki. Melihat menantu gue mulai mengambil alih kebiasaan merawat anak
laki-laki gue, itu akan membuat sedikit kecemburuan. Gue yang merasa sudah
mengenal dan mencintai anak gue bahkan sebelum dia lahir, akan memberi tau
menantu gue everything about anak gue supaya dia tau how to treat him dengan
baik dan benar. Tanpa sadar pasti gue akan mengguruinya. Apalagi ketika
dia 1 atap dengan gue. Kalau dia melawan pasti gue tidak akan
menyukainya. Iya sih memang betul apa kata ibu, menantu lebih baik tidak 1
rumah dengan mertuanya. Ketika tidak 1 rumah, maka everything is gonna be ok’
“Tapi gimana kalo suami kamu tidak bisa meninggalkan
ibunya?”
‘Hm... jujur gue berat hati karena gue takut hal-hal
di atas terjadi. Gue sama sekali tidak ingin memiliki hubungan yang buruk
dengan orang tua. Tapi gue juga tidak bisa tidak mendukung suami gue. Dalam
agama gue diajarkan bahwa laki-laki bertanggung jawab penuh terhadap ibunya
seumur hidup ibunya itu. Jadi, gue akan mengembalikan semuanya ke suami.
Dia yang punya tanggung jawab ini. Dia berani menikahi gue berarti dia berani
bertanggung jawab atas gue termasuk kebahagiaan gue disamping bertanggung jawab
pula dengan ibunya. Gue akan menuntut tanggung jawab dia, bagaimana caranya
agar hubungan gue dengan ibunya baik baik saja, bagaimana cara mengakrabkan gue
dengan ibunya. Menyuruh gue hanya untuk sabar sepertinya itu bukan solusi. Gue
menginginkan solusi yang win win. Jadi, allahualam, semoga suami gue bisa
mewujudkan itu’
Jadi, sekian curhatan gue tentang pernikahan. Semoga abis ini ga ada lagi orang yang mempertanyakan status gue. Karena gue sudah mulai lelah menjawabnya.