Keluarga gue memang didikannya keras. Gue ga pernah bisa jadiin keluarga gue sandaran yang nyaman ketika hati gue sedang murung atau sedih. Respon dari mereka sering kali bukan respon yang gue inginkan, kata-kata yang keluar sering membuat gue semakin down karena merasa tidak dimengerti, tidak didengar. Sialnya selama 12 tahun gue selalu mendapati lingkungan pertemanan yang tidak sehat. Waktu SD gue sering di bully, masuk SMP gue tidak punya banyak teman, masuk SMA gue pernah dijauhi karena bodoh. Daan ketika gue di usia peralihan remaja ke dewasa dimana memang lagi labil banget, gue bertemu dengan seseorang yang gue pikir dia adalah sudut ternyaman gue. Betul siih... untuk 6 bulan pertama tapi di bulan-bulan berikutnya sampai 4 tahun lamanya semuanya berubah semakin buruk. Bodohnya, gue ga bisa lepasin dia karena gue sayang sama dia, gue ga bisaa kehilangan orang yang di sayang. Gue membiarkan harga diri gue diinjak injak asal dia tetap ada. Suatu kebodohan yang akhirnya membuat gue merasa menjadi 'sampah'. Well disamping itu gue harus berusaha memenuhi ekspektasi orang tua untuk meraih cumlaude dan menghadapi segala drama di keluarga dan di tempat kuliah.
Yah... sampai akhirnya gue merasa cukup, gue tidak menemukan kenyamanan di dalam keluarga hingga gue pun mencari sudut ternyaman di para sahabat. Mereka lah rumah ke dua gue, tempat berpulang. Seberat apapun perasaan ini, ketika pulang ke mereka ya gue merasa nyaman dan bahagia lagi. Gue pun terlena, tidak menyadari satu kenyataan bahwa hari dimana teman-teman gue akan menikah, punya pasangan, atau sibuk dengan keluarganya sendiri itu akan datang. Gue tidak menyadari sahabat sekalipun suatu saat tidak akan bisa jadi 911 gue atau ada 24/7 buat gue. Dan pandemi benar-benar memperburuk keadaan. Karena ketika hari itu datang... gue terkurung di dalam rumah dalam waktu yang lama. Ah... di tambah lagi permasalahan di kantor yang rasanya tiada henti. Fitnah yang gue dapetin, perlakuan seseorang yang tidak pantas semuanya membuat gue sangat amat lelah.
Teringat pada malam-malam tertentu di akhir tahun 2020 gue sering meringkuk di kamar yang gelap dan menangis tak bersuara. Hati gue terasa sangat sakit tapi gue ga tau pasti hal apa yang buat gue sedih. Gue merasa tidak berguna dari hari ke hari. Gue ga ngerti kenapa semuanya terasa membosankan dan tidak menyenangkan. Gue merasa benci banget ke diri sendiri selalu salah mengambil keputusan dan bodoh dan terlalu bergantung kepada teman2 gue.
Awal tahun 2021 gue mencoba untuk bangkit dengan versi diri gue yang baru. Menutup banyak pertemanan, menghapus banyak sosmed, dan mengubah penampilan. Ah... keknya penampilan berubah ini karena terpaksa. Jadi satu malam gue terserang rasa sedih yang mendalam, gue ga tau harus lampiasin kemana karena menangis tidak cukup rasanya. Akhirnya gue mulai tertarik untuk bermain dengan sebuah gunting. Tapi keknya masih takut aja gitu buat mati, gue pasti masuk neraka jadinya gue lampiasin aja ke rambut. Ya, rambut gue tersisa sangat pendek, dan paginya gue buru2 ke salon buat diperbaiki biar ga ketauan orang di rumah. Pokoknya saat itu apa yang dulu gue sukai jadi tidak gue sukai. Bahkan warna pink aja gue jadi ga suka.
Satu tahun lamanya gue merasa sangat tidak jelas. Herannya gue jadi punya rasa takut, dan cemas yang berlebihan. Di bulan Mei 2021 ketika gue kembali mempercayakan hati gue kepada seseorang gue memang merasa bahagia kembali. Tapi sayangnya sepertinya itu cuma 3 bulan pertama saja, bulan berikutnya bahkan sampai hari ini kebahagiaan itu seolah perlahan menghilang. Gue sangat tidak bisa menerima kenyataan dan membuat gue sangat membenci diri gue. Itu lah yang mendorong gue buat 'cutting' for the first time. Walau cuma sekali tapi saat ini ketika takut dan cemas itu datang gue masih sering tertarik buat nyakitin diri sendiri. Masalah seperti tiada hentinya datang, tidak mengizinkan gue bernafas. Bulan Desember 2021 menjadi bulan yang terparah karena hampir setiap hari gue merasa takut dan cemas yang berlebihan. Asam lambung sering kali naik membuat gue merasa lemas.
Perihal dia yang gue percayakan dari bulan Mei 2021 untuk jaga hati gue... I love him so much. Gue sayang banget sama dia, tapi kadang gue ga bisa memahami pemikiran dia. Gue tau semua yang terjadi ini adalah sebuah ujian, dan kami adalah dua orang dengan mental yang tidak sehat sebetulnya. Tapi gue pengennya bisa bekerja sama dengan dia mengingat we have no time again to ignore this drama even just one hour. Kami harus bisa melawan rasa takut masing-masing. Gue melawan rasa takut untuk bisa mempercayai dia, dan dia melawan rasa takut untuk menyelesaikan masalah dia. Tapi mungkin dia belum bisa memahami konsep ini. Gue galau apakah ultimatum yang gue beri ke dia harus benar-benar gue jalankan. Lalu nanti dia bagaimana kalau gue tinggalin?? Tapi apakah dia berpikir akan keadaan gue kalau dia terus tidak bisa melawan rasa takutnya dan menunda-nunda waktu? kalau dia berpikir, pasti dia akan berusaha melawan rasa takutnya bukan?? gue cuma bisa berharap dia mengerti dan mulai beraksi sebelum gue benar-benar pergi.
0 komentar:
Posting Komentar